Di negeri Kalimantan Selatan yang penuh dengan keajaiban dan rahasia, tersimpan sebuah kisah legendaris tentang Awang Sukma dan Telaga Bidadari, sebuah dongeng yang membelai jiwa dan membangkitkan imajinasi.
Di tengah hutan belantara yang dihiasi dengan cermin air telaga yang begitu jernih bagaikan kaca, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Awang Sukma. Kesepian menemani hari-harinya, namun keindahan wajah dan kemahiran meniup sulingnya membuatnya seolah berbicara langsung dengan hati siapa saja yang mendengarnya.
Suatu hari, ketika sang pemuda masih terlelap dalam mimpi, terbangunlah dia oleh gemuruh sayap yang bergetar dan riuh. Ia terjaga dari lamunan dan melihat tujuh bidadari yang turun dari langit, mengitari telaga dengan gerakan lembut bak angin sore. Keindahan mereka menembus batas keanggunan dunia fana.
Dengan hati yang bergetar, Awang Sukma mengintip dari tempat persembunyiannya, terpesona oleh pemandangan bidadari yang sedang menyelam dan berlarian di dalam air. Tanpa sadar, salah satu dari mereka kehilangan pakaian surgawi yang membalut tubuhnya. Dalam keremangan malam, Awang Sukma dengan cepat menyambar pakaian itu dan menyimpannya di dalam sebuah lumbung padi, jauh dari jangkauan mata yang belum terjaga.
Putri bungsu, yang adalah bidadari tercantik di antara mereka, merasa kehilangan dan terjebak di bumi. Kesedihan dan kemarahan membalut hatinya, hingga akhirnya Awang Sukma muncul dari balik bayang-bayang, menawarkan pelukan dan kehidupan di sampingnya. Dengan rasa percaya dan cinta yang tak tertahan, si bidadari menerima tawaran itu, menjadi istri Awang Sukma dan melahirkan seorang anak perempuan bernama Kumalasari, yang rupawan seperti bintang di langit malam.
Suatu hari, ketika sang putri bungsu sedang berburu ayam di hutan, matanya terarah pada sebuah lumbung padi. Terkejut dan bergetar dalam hati, ia menemukan kembali pakaian yang pernah hilang. Ketika kemarahan dan cinta bertarung di dalam dadanya, ia memutuskan untuk kembali ke kahyangan. Dengan penuh rasa haru, ia mengenakan kembali pakaian surgawi, memeluk dan mencium Kumalasari yang masih bayi dengan penuh tangisan.
Tangisan sang ibu dan anaknya menggema seperti lagu yang penuh dengan kesedihan, membangunkan Awang Sukma dari tidurnya. Betapa hancur hati sang suami melihat istrinya mengenakan pakaian yang memisahkannya. Tiba-tiba, kesadaran akan perpisahan yang tak terelakkan menerpa hatinya.
Dalam isak tangis, si bidadari berpesan agar Awang Sukma mengambil tujuh biji kemiri dan memasukkannya ke dalam sebuah bakul. Jika Kumalasari merindukannya, ia harus menggoncangkan bakul itu sambil memainkan sulingnya dengan melodi yang lembut. Itulah satu-satunya cara agar ia bisa kembali bertemu dengan anak dan suaminya di dunia ini.
Awang Sukma mengikuti pesan tersebut dengan setia, namun meskipun kerinduan menggebu dalam hatinya, takdir yang memisahkan mereka tetap tidak bisa diubah.
One thought on “Awang Sukma dan Telaga Bidadari”