Cerita Rakyat Riau | Putri Tujuh – Amarah seorang pangeran yang berujung malapetaka bagi banyak pihak, hanya karena cintanya yang ditolak.
Terpesona pada Pandangan Pertama
Di suatu hari yang cerah, ketujuh putri Cik Sima pergi mandi di Sungai Lubuk Sarong Umai. Begitu menikmati kebersamaan, mereka tidak menyadari adanya pengintai. Ketika itu, Pangeran Empang Kuala yang berasal dari kerajaan seberang melintasi sungai tempat tujuh kakak beradik tersebut mandi. Pangeran pun langsung terpesona melihat ketujuh putri cantik Cik Sima.
Setelah beberapa saat, pandangan sang pangeran terus kembali kepada satu orang, yakni Putri Mayang Sari. Dari situ, muncullah keinginannya untuk meminang Putri Mayang Sari pujaan hatinya.
Pangeran Empang Kuala kembali ke kerajaan dan segera mengirim utusannya ke Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Setibanya di sana, utusan Pangeran Empang langsung menemui Cik Sima untuk mengantarkan pinangan adat kebesaran raja yang berupa tepak sirih (simbol budaya dalam adat Melayu).
Cik Sima lantas menyambut pinangan itu dengan kemuliaan adat yang berlaku di daerah kekuasaannya. Dengan segera, Cik Sima meletakkan pinang dan gambir pada combol (wadah) paling besar yang ada di dalam tepak itu, sementara sisanya ia biarkan kosong.
Sebagai seorang pemimpin, Cik Sima sangat teguh memegang adat Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Ia percaya bahwa putri pertamanya paling berhak untuk menerima pinangan terlebih dahulu. Maka dari itu, dari tujuh buah combol yang mewakili setiap putrinya, ia menaruh combol terbesar sebagai simbol dari putri tertuanya. Sehingga balasan dari Cik Sima ini memberi isyarat bahwa pinangan Pangeran Empang Kuala akan diterima oleh putri pertamanya—dan bukan oleh putri bungsunya yang bernama Mayang Sari.
Maka dari itu, dari tujuh buah combol yang mewakili setiap putrinya, ia menaruh combol terbesar sebagai simbol dari putri tertuanya.
Tempat Persembunyian Tujuh Putri
Utusan Pangeran Empang Kuala pun kembali untuk menyampaikan tolakan pinangan dari Cik Sima. Malu karena pinangannya untuk Putri Mayang Sari ditolak, sang pangeran lantas dibutakan amarah dan tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Dengan segera, ia mengirim panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung, sehingga tepian Selat Malaka pun langsung menjadi arena pertarungan.
Malu karena pinangannya untuk Putri Mayang Sari ditolak, sang pangeran lantas dibutakan amarah dan tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Di tengah kecamuk perang, Cik Sima mengajak semua putrinya untuk ikut dengannya ke hutan. Sesampainya di sana, Cik Sima meminta ketujuh putrinya untuk bersembunyi di sebuah lubang yang ditutupi atap yang terbuat dari tanah dan terlindungi pepohonan.
Selama tiga bulan bersembunyi, Cik Sima juga membawakan makanan dan minuman untuk ketujuh putrinya. Setelah itu, ia kembali ke medan perang.
Lebih dari tiga bulan, peperangan tersebut terjadi. Cik Sima melihat semakin banyak prajuritnya yang gugur, rakyat yang dicintainya ikut tewas, dan kerajaannya yang porak poranda.
Tak sanggup melihat keadaan itu, Cik Sima akhirnya meminta bantuan kepada para makhluk halus yang sedang bertapa di bukit hulu Sungai Umai. Permintaan ini pun disetujui.
Ketika Pangeran Empang Kuala dan seluruh prajuritnya sedang beristirahat di bawah pohon bakau pada malam hari, dalam hitungan detik, ribuan bakau berjatuhan dan menusuk para prajurit Pangeran Empang Kuala hingga mereka semua tidak berdaya.
Pesan Perdamaian dari Cik Sima
Di saat lawannya tak lagi mampu berkutik, Cik Sima melihat sebuah kesempatan. Kini saatnya bagi Cik Sima untuk mengirim pesan kepada Pangeran Empang Kuala agar menyudahi peperangan yang tidak membawa keuntungan pada kedua belah pihak ini.
Mendengar pesan itu, Pangeran Empang Kuala tersadar bahwa dirinyalah yang memulai peperangan ini. Akhirnya, ia memerintahkan pasukannya untuk segera kembali ke Negeri Empang Kuala.
Berhasil menyudahi perang itu, Cik Sima bergegas kembali ke hutan, tempat ia menyembunyikan ketujuh putrinya tersayangnya.
Namun, malang bagi Cik Sima karena ia tak ingat bahwa ia hanya membekali ketujuh putrinya dengan makanan yang hanya cukup untuk tiga bulan, sedangkan peperangan berlangsung lebih dari itu. Setibanya di sana, ia dihadapkan pada takdir yang memilukan lantaran ketujuh putrinya meninggal akibat kelaparan dan kehausan.
Namun, malang bagi Cik Sima karena ia tak ingat bahwa ia hanya membekali ketujuh putrinya dengan makanan yang hanya cukup untuk tiga bulan, sedangkan peperangan berlangsung lebih dari itu.
Ditinggal ketujuh putrinya, Cik Sima pun kehilangan semangat hidup. Ia dilanda kesedihan luar biasa dan berangsur-angsur jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.
Hingga kini, legenda Putri Tujuh ini dipercaya sebagai asal-usul lahirnya kata “Dumai” yang diambil dari kata-kata Pangeran Empang Kuala ketika terpesona dengan kecantikan Putri Mayang Sari.
Moral Cerita Putri Tujuh
Cerita Rakyat Riau: Asal Mula Putri Tujuh ini memberi pesan bahwa amarah hanya akan menimbulkan kerugian dan penyesalan. Karena itu, kita dianjurkan untuk selalu belajar agar tidak dibutakan oleh emosi ketika keinginan kita tidak terwujud–persis seperti yang dilakukan Pangeran Empang Kuala ketika pinangannya ditolak oleh Cik Sima.
Sebagai manusia, kita juga perlu berpikir jauh sebelum bertindak, agar tindakan kita tidak menyebabkan kekacauan bahkan malapetaka bagi banyak orang. (/ragambudaya.click)